Wednesday, January 24, 2018

Lorong Waktu

Dear Jiwa . . .


Dalam sendunya malam engkau meregang
menemukan betapa kerasnya diri kini kalah dengan dunia
Engkau meregang
dalam diam sama seperti dulu
sebab semesta seakan menggiringmu ke tempat lain

Dalammu semua berkecamuk
Remuknya rasa berdebat dengan kerasnya kepala
Mungkin kau harus menyalahkan mengapa tercipta demikian

Derai kini tak lagi berguna
Peluh pun mungkin tak lagi
Berhentilah berkecamuk karena ntah apa yang kini merajaimu

Terasa jauh..
Pandangan mengabur dipenuhi derai mu
Berhentilah..
Semua hanya kesia-siaan bagimu

Duhai Jiwa..
Lihatlah sang Embun menyapamu
Sama seperti masa lampau
Menilik heran "sebab ini seperti bukan dirimu,"ujarnya
Mempertanyakan apa yang sudah menghempaskanmu?


Akh Jiwa.. mengapa kau diam?
Mungkin memang aku yang meresahkanmu
Mungkin aku yang menyeretmu hingga kesini
Mungkin aku yang meremuk-redamkanmu lagi dan lagi
Mungkin aku..

Namun aku tertegun
Selama ini mungkin aku tak bertanya padaNYA
Apa yang menjadi inginNYA
Apa yang menggundahkan hatiNYA
Mungkin aku sudah terlalu jauh terbenam

Akh baiklah..
Mungkin ini inginNYA
Mungkin lorong waktu ini yang tepat

Selamat memasuki lorong waktu yang baru
Wahai Jiwa.. Wahai Raga..
Dalam reruntuhan aku lirihkan asaku
Kiranya bahagia yang ada di lorong waktu ini . . .

Sunday, December 10, 2017

Bandaramu

Di bandaralah semua kisah bertemu, ntah itu bahagia maupun duka. Aku merasakan semua hal itu. Pernah bahagia karena melalui bandara ini aku akan bertemu dengan keluarga, sahabat dan teman. Pernah penuh harap karena bandara ini menjadi jalur penghubung cita dan mungkin juga cintaku. Pernah juga bandara ini menjadi saksi derai airmata yang berusaha kutahan. Kini ia menjadi terowongan waktu yang menampilkan begitu banyak hal yang sudah dilihatnya.

Aku menatap sekitar dengan rasa kesal yang membuncah. Pesawat yang akan aku tumpangi mengalami keterlambatan sekitar 60 menit dari yang seharusnya, setidaknya itu yang disampaikan saat aku bertanya ke bagian customer service. Salahku juga karena memilih kakak sepupu dari maskapai yang hobby-nya delay ini, padahal biasanya enggan milih maskapai ini meski dengan fasilitas yang mirip dengan maskapai senior. Akhirnya, terdamparlah aku di waiting room yang penuh dengan makhluk penghisap oksigen lengkap dengan air muka dan gerak tubuh yang beraneka.
Seorang pria yang sudah tidak terlalu muda lagi, mungkin sekitar 35 tahun, duduk tenang dengan gadget yang terhubung dengan charging box, sepertinya dunia akan baik-baik saja selama baterai gadget-nya terisi penuh. Seorang pria dewasa berusia sekitar 48 tahun sibuk berjalan kesana kemari, aku pikir karena gelisah menunggu waktu keberangkatan yang tak kunjung tiba, namun ternyata ada earphone yang melekat di salah satu telinganya. Tampaknya ia sedang sibuk berbicara dengan seseorang diseberang sana.
Aku melihat ke sebelah kananku, ada sepasang suami istri yang sudah separuh baya sedang mengobrol dengan santai. Tampaknya usia sudah mengajarkan mereka banyak hal tentang ketidakpastian di dunia ini. Setidaknya pemandangan ini sedikit menentramkan hatiku yang kesal dan gelisah.
Di pojok ruangan ini aku melihat sepasang suami istri yang masih muda sedang sibuk bekerja sama menenangkan anak mereka yang masih balita. Mungkin sang anak mulai bosan berada di ruangan dimana dia tak bisa bebas bermain atau mungkin dia rindu rumahnya. Yah, bandara juga penuh dengan rasa rindu kan?

Aku kembali menilik sekitar, betapa aku makin memahami apa itu kesunyian dalam keramaian. Meski kupikir terkadang rasa sunyi itu perlu agar kita punya waktu untuk merenung, bukan melamun ya hahahaaa.. Seperti bandara ini, selalu menjadi tempat bagiku untuk bersedekap dan merenung. Mungkin karena terbiasa bepergian sendiri sehingga terbiasa pula hanyut dalam pikiran sendiri. Bandara selalu punya caranya sendiri untuk mengalihkanku dari hiruk pikuk dunia dan menyedotku masuk dalam terowongan mimpi. Mimpiku. Bandara selalu mengajakku mengukur sudah seberapa dekat langkahku dengan mimpiku. Dan...


Langkahku masih jauh..


Soeta, 251117

Monday, November 13, 2017

Menjejak Hati


Hujan sedang turun saat saya menuliskan ini, memang benar bahwa hujan selalu punya caranya sendiri untuk menghipnotis pikiran. Buktinya, saat ini pikiran saya sedang melayang jauh melompati waktu. Pikiran saya tertegun pada masa dimana gelak tawa menghiasi udara yang panasnya sungguh luar biasa. Panas yang menyengat namun tawa ada dimana-mana, saya heran ini sebenarnya apa? Akh, ternyata ini saat Kemenkeu Mengajar 2 Tebing Tinggi. Saya tersenyum dan tangan saya refleks memegang kedua pipi berusaha menahan airmata yang ingin tumpah. Bahagia dan haru yang bercampur menjadi satu, entah bagaimana cara yang tepat untuk menuliskannya. Pikiran saya melayang menjelajahi setiap jejak yang memenuhi masa itu. Saya tertegun melihat jejak-jejak itu, apakah itu jejak milik saya? “Ternyata benar,” seru saya dalam hati. Saya mencoba mengumpulkan jejak-jejak itu dan menelitinya seksama. Bagai sebuah film yang diputar ulang, jejak itu mulai membawa saya melihat masa demi masa.
Jejak yang pertama membawa saya melihat ke masa ketika awal Kemenkeu Mengajar 2 Tebing Tinggi terbentuk. Seorang yang muda dan kurang berpengalaman seperti saya, namun didaulat menjadi Koordinator Kota dengan setumpuk tugas dan tanggung jawab. Ada begitu banyak tangan yang terulur membantu, bahkan dari mereka yang lebih berpengalaman dan memiliki jabatan jauh diatas saya. Ide-ide yang tercetus disambut hangat dan kesediaan membuka jalan ketika kebuntuan menghadang. Sungguh mereka tak memandang rendah saya karena saya muda, terima kasih.
Jejak yang kedua kemudian memutar kisahnya, mengingatkan saya betapa bekerja sama itu begitu indah. Teman dan sahabat yang selalu siap sedia menyumbangkan tenaga, pikiran bahkan waktunya untuk memastikan segala sesuatunya berjalan lancar. Tidak ada rasa curiga karena saling memahami bahwa seluruhnya dikerjakan demi kebaikan yang besar. Sungguh, tidak mungkin Kemenkeu Mengajar 2 Tebing Tinggi akan sukses jika bukan karena sentuhan tangan mereka, terima kasih.
Saya kembali dibawa melintasi waktu dan jejak ketiga mulai berkisah. Derai airmata, ketakutan dan rasa putus asa tampak menyelubungi saya pada saat itu. Penatnya pekerjaan dan tekanan kebutuhan dari berbagai pihak membuat saya stress. Waktu rasanya begitu cepat berputar seakan tak ingin kalah cepat dari pikiran saya yang selalu berlari kesana-kemari memikirkan semuanya. Bagi saya seluruh tugas dan tanggung jawab harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, meski penat dan lelah mulai menggerayangi. Terkadang ingin rasanya membelah diri agar bisa lebih maksimal mengerjakan semuanya, namun saya merasa jadi seram jika hal itu terjadi (membelah diri.red). Sungguh jika bukan karena dukungan lembut dan sandaran kokoh dari kekasih hati maka tidak mungkin saya bisa melalui masa itu, terima kasih suamiku.
Kemudian jejak keempat muncul, ia juga ingin mengisahkan sesuatu. Ia berkisah bagaimana saya belajar bahwa tidak semua orang akan berjalan berdampingan dengan kita. Akan ada mereka yang berjalan berdampingan dekat dengan kita, ada juga yang berjauhan meski masih sejalan dan ada juga yang berlawanan arah dengan kita. Semuanya tentu agar bumi ini seimbang. Kegiatan ini baik, sangat baik malah, namun tentu tidak semua pihak bisa menerimanya. Terkadang ada respon yang mengejutkan, tapi tidak jadi menyurutkan semangat berbagi kebaikan justru semakin membuat semangat membara. Mengapa? Sebab tidak semua pribadi mendapat kesempatan untuk berbagi dan jika kita mendapat kesempatan itu maka ambil dan jalankanlah. Sungguh penyemangat itu bisa datang dari mana saja, bahkan dari yang berbeda dari kita. Terima kasih teman.
Jejak kelima menarik saya, ia juga ingin berkisah. Ia menunjukkan saat senyum sumringah menghiasi wajah relawan pagi itu. Iya, hari Mengajar itu telah tiba. Saya melihat pancaran kebahagiaan di wajah para relawan yang bahkan mampu mengalahkan hangatnya mentari pagi. Hati saya menghangat dan pelupuk mata saya mulai memberat. Akh, seperti inikah masa kecil saya dulu? Bongkahan rindu menyeruak relung saya, memutar kembali kenangan masa kecil, masa-masa Sekolah Dasar. Saya pikir seluruh relawan juga merasakan hal yang sama. Kenangan masa kecil pasti sedang memenuhi benak mereka saat ini. Bahkan ketika keringat mulai bercucuran, tidak melunturkan wajah bahagia mereka. Gelak tawa adik-adik pun memenuhi setiap ruang di sekolah, bermain dan belajar bersama dengan kakak dan abang yang baru mereka kenal namun begitu berkesan. Terima kasih kalian semua sungguh luar biasa.

Saya terduduk menatap pemandangan manis itu seraya menunggu mungkin ada jejak berikutnya. Akan tetapi, ternyata semua jejak sudah terkumpul dalam genggaman saya dan kemudian saya menyadari sesuatu. Dari begitu banyak jejak yang saya kumpulkan, sepertinya itu semua bukan jejak yang saya buat. Padahal pada awalnya saya ingin sekali meninggalkan jejak yang akan diingat dan berkesan bukan hanya bagi diri saya, tapi juga bagi relawan dan adik-adik. Kini saya malah merasa bahwa bukan saya yang menjejak disana, tapi mereka semua yang menjejak. Seperti ketika kita ingin memberi, namun malah diberi begitulah yang saya rasakan ketika mengingat semua ini. Kemenkeu Mengajar 2 meninggalkan begitu banyak jejak bagi saya yang mengajarkan banyak hal dan memberi banyak kenangan. Sama seperti hujan yang rintiknya menjejak di tanah, begitu juga dengan Kemenkeu Mengajar 2, ia menjejak di hati saya dengan caranya yang tidak terduga. Bagaimana dengan kamu?

Ketika Harus Menjadi Ayah Sekaligus Ibu


Mendapat kesempatan menjadi Koordinator Kota dalam Kemenkeu Mengajar 2 Tebing Tinggi merupakan hal yang sangat saya syukuri dan banggakan. Menjadi bagian dalam kegiatan yang luar biasa sekaligus memiliki tanggung jawab yang besar, tentu saja ini pengalaman yang sangat berharga. Namun, tahukah kalian bahwa menjadi Koordinator Kota memiliki kisahnya sendiri? Saya ingin mengisahkannya agar kisah ini senantiasa hidup dan dapat diputar ulang dalam memori otak yang kadang mulai memudar seiring waktu.
“Gan, gabung di Sie Acara ya..” kata saya seraya pasang tampang paling manis
“Ta..ta..tapi.. hmm..” Ganda menjawab ragu
“Sie Acara membutuhkanmu loh.. Kalo gak mau ntar gak aku kasih cemilan lagi,” nego setengah mengancam mulai keluar
“Iyalah, Nov kalau gitu,” jawabnya dengan nada pasrah sambil memegang perutnya seakan takut akan kekurangan pasokan makanan
“Yes!!” seru saya penuh semangat
“Mohon bimbingannya ya kak..” ujarnya lagi
“Udah musim duren sekarang dek, gak bimbing lagi hahaaa...,”celetuk Pak Ramot yang ikut mendengarkan obrolan kami. Maksudnya musim buah belimbing tapi diubah jadi “bimbing” untuk meledek agar tidak terlalu serius.
Sepenggal percakapan diatas adalah salah satu pembicaraan saat merekrut panitia, ancaman tadi hanyalah gurauan karena sudah berteman sejak bangku kuliah, tapi memang jadi panitia ini mesti jeli menarik relawan yang akan diajak bekerja sama. Setiap orang pasti punya potensi masing-masing dan melalui kegiatan besar ini, sangat tepat jika ingin mengasah dan mengembangkan potensi yang ada. Hal ini juga yang menjadi pertimbangan saat mengajak para pegawai untuk mendaftar sebagai pengajar ataupun dokumentator.
Menjadi Koordinator Kota sama seperti menjadi ayah sekaligus ibu, harus punya keahlian merangkul dan sabar menghadapi para relawan dengan bermacam-macam usia, latar belakang dan kepribadian. Anak tertua yang udah paham luar kepala apa yang harus dikerjakan dan punya “kekuatan” untuk mengarahkan adik-adiknya. Ada anak tengah yang kadang merasa cemburu koq rasanya seperti tidak disayang, apa karena berbeda warna kulit atau tinggal berjauhan? Ada juga anak bungsu yang sering tidak percaya diri dan malu takut-takut untuk memulai sesuatu. Kondisi yang beragam ini membuat saya harus mampu memilah sikap. Terkadang harus bisa bersikap tegas layaknya seorang Ayah ketika anak-anaknya mulai ricuh dengan berbagai ide dan pendapat yang beragam, yang satu ingin A dan yang lain inginnya B. Terkadang harus bisa juga menjadi layaknya seorang Ibu yang lembut, sabar dan sedikit cerewet menghadapi anak-anaknya saat sedang ada masalah atau mulai melakukan kegiatan tanpa tujuan yang jelas.
“Halo dek..gimana persiapan mengajarnya?” tanya saya pada salah seorang pengajar
“Halo juga kak..Aku bingung nih kak, belum paham persiapannya gimana..”balasnya sedih
“Napa memangnya dek?”
“Aku udah coba hubungi Kak A nanyain bagusnya pake alat peraga apa, tapi balasnya laamaaaa kalliii kak. Padahal yang lain udah dapat metode mengajar dan alat peraganya butuh apa aja,” terangnya kemudian
“Walahh.. Ntar aku coba bantu tanyain ke Kak A ya dek, mudah-mudahan cepat diresponnya.”
“Okeee kak.. Makasi yaa kak..”
“Siaapp..”
Nah, itu saat harus berperan jadi Ibu. Memberi perhatian, menjadi pendengar yang baik, sekaligus menenangkan relawan yang sedang mengalami masalah. Bahkan juga membantu menemukan solusi bagi permasalahan yang ada. Permasalahan yang ada sebenarnya tidak jauh-jauh dari masalah komunikasi dan koordinasi. Ketika komunikasi tidak berjalan dengan lancar maka sudah dapat dipastikan koordinasi jadi berantakan juga. Sejak awal kepanitiaan dibentuk dan saat para relawan sudah terkumpul, saya berulang kali menegaskan tentang membangun komunikasi yang baik. Saya mencoba pendekatan secara personal terhadap setiap relawan, termasuk panitia. Meski hampir separuh dari relawan, termasuk panitia, sudah saya kenal sejak lama namun tidak menjadi jaminan akan mudahnya berkomunikasi. Apalagi ditambah jarak dan kondisi pekerjaan yang sedang banyak-banyaknya saat itu. Akan tetapi memang itulah seni berorganisasi maupun dalam kepanitiaan, belajar karakter dan cara pendekatan yang tepat. Ada yang mesti dilakukan pendekatan personal, sering diajak ngobrol baik tentang kesibukan yang sedang dijalani maupun kendala dalam persiapan Kemenkeu Mengajar. Ada juga yang mesti didekati lewat teman-temannya, mungkin karena merasa belum kenal dan segan jadi ketika dihubungi orang baru jadi enggan merespon.
            Namun, jika peran sebagai Ibu sudah tidak mempan, langsung ganti peran jadi Ayah. Iya, bersikap tegas kepada anak yang mulai “bandel”. Peran ini saya lakukan juga saat diskusi di grup namun yang merespon orangnya hanya yang itu-itu saja, padahal ada lebih dari lima puluh orang dalam grup tersebut. Tidak hanya saya yang frustasi dengan kondisi itu, tapi beberapa panitia yang lain juga. Kita merasa grup tidak hidup, kurang akrab dan kegiatan seakan hanya milik beberapa orang saja. Akhirnya, beberapa orang saya tanya ulang secara pribadi tentang komitmennya terhadap kegiatan ini. Saya tekankan bahwa kegiatan ini sukarela dan kita harus rela memberi waktu, tenaga dan pikiran yang lebih demi berhasilnya kegiatan ini. Semua pasti punya kesibukan, namun menurut saya jika sudah berkomitmen maka akan lebih mudah memberi lebih. Saya juga menyampaikan jikalau tidak memungkinkan untuk terus bergabung dalam kegiatan ini maka tidak perlu sungkan untuk menyampaikannya. Pada akhirnya beberapa orang menyatakan tidak lanjut bergabung dan saya merasa itu lebih baik daripada malah menjadi tidak nyaman satu dengan yang lainnya.
            Saya bukan psikolog ataupun pakar dalam membaca kepribadian, masih harus belajar banyak dalam hal komunikasi dan memimpin. Kemenkeu Mengajar 2 ini menjadi wadah yang sangat luar biasa menempa saya dalam banyak hal. Komunikasi, koordinasi, pertemanan, kekeluargaan, memimpin, melayani dan masih banyak lagi. Keriangan dan luapan rasa gembira dari kegiatan Kemenkeu Mengajar 2 Tebing Tinggi  masih terasa hingga saat ini. Luapan rasa itu semakin berarti tatkala sujud syukur kepada Yang Maha Kuasa, sungguh tidak ada satupun rasa yang mampu kita nikmati jika bukan karena-Nya.


Back To Huta


Berbeda dengan tahun sebelumnya, pada tahun ini pendaftaran untuk menjadi Koordinator Kota Kemenkeu Mengajar 2 sangat terasa semaraknya. Begitu banyak yang tertarik dan mendaftar, saya termasuk juga didalamnya. Bersyukur bahwa saya mendapat kesempatan untuk mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai Koordinator Kota Kemenkeu Mengajar 2 Tebing Tinggi. Rasanya tentu luar biasa senang dan meluap-luap bahagia. Ide-ide yang udah dipersiapkan berasa ingin segera direalisasikan, padahal panitia saja belum terbentuk (heehee…). Pada awalnya tentu mengajak mereka yang udah mendaftar sebagai Koordinator Kota namun tidak terpilih, untuk bergabung sebagai relawan panitia. Saya antusias pengen mengajak mereka bergabung di Tebing Tinggi, apalagi saat tahu kalau ada tiga orang pendaftar untuk wilayah Tebing Tinggi dan sekitar (kecuali Medan). Paling mengejutkan adalah pada saat Panitia Pusat membagikan daftar nama tersebut, ternyata tiga orang yang mendaftar sebagai Koordinator Kota Tebing Tinggi ketiganya bernama belakang (marga/boru) Simarmata. Memang kalau nama saya dipakainya Saragih, tapi lengkapnya nama belakang saya itu Saragih Simarmata. Rasanya kaget, lucu, dan senang juga karena jarang sekali kejadian seperti ini. Bersyukur yang satu mau bergabung sebagai PIC Acara dan satu lagi tidak bisa bergabung karena sedang hamil muda.
            Jika Kemenkeu Mengajar (KM) kota lain memilih sekolah yang berdekatan, Tebing Tinggi justru memilih sekolah di Tebing Tinggi dan Samosir sebagai tempat dilaksanakannya KM 2. Banyak yang mempertanyakan mengapa memilih lokasi yang begitu berjauhan, tidak hanya terpisah daratan tapi juga danau. Iya, danau karena Samosir adalah sebuah pulau yang berada tepat di tengah-tengah Danau Toba. Sudah pernah ke Danau Toba? Jika belum maka cobalah jadwalkan waktu untuk berlibur dan menikmati keindahan Danau Toba. Pesan hotel dua atau tiga bulan sebelum kedatangan karena biasanya hotel-hotelnya selalu penuh dengan turis dari mancanegara. Alasan pemilihan sekolah dilihat berdasarkan kebutuhan sekolah tersebut. Kemenkeu Mengajar tentu tidak hanya ingin merangkul dan menjadi dekat dengan masyarakat sekitar, namun juga menunjukkan kepedulian bagi mereka yang mungkin “terlupakan” oleh sekitar.
Sekolah di Tebing Tinggi merupakan sekolah yang sudah terakreditasi A, namun mayoritas siswanya berasal dari golongan ekonomi menengah kebawah. Ruang belajar sudah cukup baik dengan pencahayaan yang cukup serta kebersihan yang terjaga. Buku-buku bacaan dan perpustakaan juga sudah tersedia meski belum sepenuhnya mencukupi bagi seluruh siswa di sekolah tersebut. Donasi buku menjadi ide yang kita lakukan agar para siswa mendapat buku-buku pengetahuan yang layak baca dan dapat meningkatkan pengetahuan mereka akan dunia luar dan masa depan. Kita berharap melalui KM 2 para siswa juga berani untuk menggapai cita-citanya tanpa memandang latar belakang ekonomi dan keluarganya, membawa dampak perubahan bagi bangsa baik sebagai penjaga keuangan negara maupun profesi lainnya. Sekolah begitu antusias saat kita berkunjung kesana, mereka tidak menyangka akan terpilih karena letaknya yang berada di pinggiran kota dan siswanya berlatar belakang ekonomi menengah kebawah. Bahkan Kepala Sekolahnya sampai berkata : “Kami gak sangka loh Bu, bakal terpilih untuk kegiatan ini. Kan biasanya kalo dari intansi-instansi gitu milihnya sekolah-sekolah yang di kota, apalagi siswa kita kan ya gitulah..dari ekonomi menengah kebawah tapi pintar-pintarnya mereka.” Hasil survey dan perbincangan dengan Kepala Sekolah membuat kita makin yakin dengan pilihan ini.
Sedangkan sekolah di Samosir, masih sangat jauh berbeda dengan sekolah di Tebing Tinggi. Pada saat survey ke Samosir saya tidak bisa ikut, jadi hanya mendengar cerita dan melihat foto serta videonya saja. Saya hanya tahu bahwa kondisi disana masih jauh dari kata layak sebagai sekolah. Air saja masih susah disana, sungguh ironi karena mereka berada di tengah danau dan hutan yang harusnya menyimpan banyak air. Ruang sekolah masih belum sepenuhnya layak karena ada beberapa kelas yang lantainya terbuat dari semen dan sudah pecah-pecah sehingga banyak debu. Kursi-kursi juga masih ada yang menggunakan kursi plastik. Ketika pada akhirnya saya mendapat kesempatan melihat langsung sekolah tujuan KM 2 di Samosir, saya antusias sekali. Apalagi letak sekolahnya yang berada di kampung (desa) Simarmata, tempat opung leluhur saya lahir dan tumbuh disana. Rasanya KM 2 ini akan menjadi kesempatan untuk pulang kampung atau bahasa kekiniannya back to huta (huta dalam bahasa Batak Toba artinya kampung atau desa).
Saya sedang ada kegiatan kantor di Samosir dan kemudian menyempatkan diri melihat lokasi sekolah. Dalam perjalanan menuju sekolah, saya bertemu dengan dua orang anak sekolah yang sedang berjalan kaki lengkap dengan seragam dan tas sekolahnya. Keduanya membawa bambu panjang, mungkin untuk prakarya atau tugas dari guru. Saat itu saya bersama dengan enam orang teman kantor langsung mengajak dua siswa sekolah ini untuk ikut naik mobil ke sekolah mereka. Saya trenyuh dan ingin menumpahkan airmata saat tahu kalau mereka harus berjalan kaki lebih dari enam km setiap hari, berangkat dan pulang dari sekolah. Jalanannya masih tanah yang kalau hujan tentu akan becek dan tidak ada gojek, tapi mereka tetap berangkat sekolah. Jadi teringat kalau dulu saat SD, saya saja masih malas-malasan untuk sekolah padahal dekat dengan rumah, rasanya malu jika dibandingkan dengan dua orang adik ini. Begitu sampai di sekolah, kita hanya mampir sebentar tidak sampai masuk ke sekolah karena sedang mengejar waktu, rasanya makin terharu saat melihat sekolahnya dan para siswa yang sedang berkumpul menyanyikan lagu wajib sambil menatap heran kepada kami. Hanya lambaian tangan yang bisa kami lakukan sambil bergumam sampai ketemu tanggal 23 Oktober 2017.
            Rasa antusias terhadap KM 2 Tebing Tinggi ini bukan semata-mata karena kampung leluhur yang menjadi salah satu tujuannya, tapi karena kesempatan untuk membawa kebaikan yang tidak ternilai bagi mereka yang ada di Tebing Tinggi dan Samosir. Saya makin yakin jika tahun depan masih diberi kesempatan untuk bergabung dengan KM lagi, saya ingin menjangkau lebih banyak lagi relawan untuk kembali ke sekolah, kembali ke kampung halaman dan membangun mimpi anak-anak disana. 

Hello world.. ^__^

Hello world.. ^__^

Advertising

Advertising

Labels

About Me

My Photo
Perfect Melancholic - Strong Choleric - Pluviophile

Entri Populer