Mendapat kesempatan menjadi Koordinator
Kota dalam Kemenkeu Mengajar 2 Tebing Tinggi merupakan hal yang sangat saya syukuri
dan banggakan. Menjadi bagian dalam kegiatan yang luar biasa sekaligus memiliki
tanggung jawab yang besar, tentu saja ini pengalaman yang sangat berharga.
Namun, tahukah kalian bahwa menjadi Koordinator Kota memiliki kisahnya sendiri?
Saya ingin mengisahkannya agar kisah ini senantiasa hidup dan dapat diputar ulang
dalam memori otak yang kadang mulai memudar seiring waktu.
“Gan,
gabung di Sie Acara ya..” kata saya seraya pasang tampang paling manis
“Ta..ta..tapi..
hmm..” Ganda menjawab ragu
“Sie
Acara membutuhkanmu loh.. Kalo gak mau ntar gak aku kasih cemilan lagi,” nego
setengah mengancam mulai keluar
“Iyalah,
Nov kalau gitu,” jawabnya dengan nada pasrah sambil memegang perutnya seakan
takut akan kekurangan pasokan makanan
“Yes!!”
seru saya penuh semangat
“Mohon
bimbingannya ya kak..” ujarnya lagi
“Udah
musim duren sekarang dek, gak bimbing lagi hahaaa...,”celetuk Pak Ramot yang
ikut mendengarkan obrolan kami. Maksudnya musim buah belimbing tapi diubah jadi
“bimbing” untuk meledek agar tidak terlalu serius.
Sepenggal percakapan diatas adalah salah
satu pembicaraan saat merekrut panitia, ancaman tadi hanyalah gurauan karena
sudah berteman sejak bangku kuliah, tapi memang jadi panitia ini mesti jeli menarik
relawan yang akan diajak bekerja sama. Setiap orang pasti punya potensi masing-masing
dan melalui kegiatan besar ini, sangat tepat jika ingin mengasah dan mengembangkan
potensi yang ada. Hal ini juga yang menjadi pertimbangan saat mengajak para
pegawai untuk mendaftar sebagai pengajar ataupun dokumentator.
Menjadi Koordinator Kota sama seperti menjadi
ayah sekaligus ibu, harus punya keahlian merangkul dan sabar menghadapi para
relawan dengan bermacam-macam usia, latar belakang dan kepribadian. Anak tertua
yang udah paham luar kepala apa yang harus dikerjakan dan punya “kekuatan” untuk
mengarahkan adik-adiknya. Ada anak tengah yang kadang merasa cemburu koq rasanya
seperti tidak disayang, apa karena berbeda warna kulit atau tinggal berjauhan?
Ada juga anak bungsu yang sering tidak percaya diri dan malu takut-takut untuk memulai
sesuatu. Kondisi yang beragam ini membuat saya harus mampu memilah sikap. Terkadang
harus bisa bersikap tegas layaknya seorang Ayah ketika anak-anaknya mulai ricuh
dengan berbagai ide dan pendapat yang beragam, yang satu ingin A dan yang lain
inginnya B. Terkadang harus bisa juga menjadi layaknya seorang Ibu yang lembut,
sabar dan sedikit cerewet menghadapi anak-anaknya saat sedang ada masalah atau
mulai melakukan kegiatan tanpa tujuan yang jelas.
“Halo
dek..gimana persiapan mengajarnya?” tanya saya pada salah seorang pengajar
“Halo
juga kak..Aku bingung nih kak, belum paham persiapannya gimana..”balasnya sedih
“Napa
memangnya dek?”
“Aku
udah coba hubungi Kak A nanyain bagusnya pake alat peraga apa, tapi balasnya laamaaaa
kalliii kak. Padahal yang lain udah dapat metode mengajar dan alat peraganya butuh
apa aja,” terangnya kemudian
“Walahh..
Ntar aku coba bantu tanyain ke Kak A ya dek, mudah-mudahan cepat diresponnya.”
“Okeee
kak.. Makasi yaa kak..”
“Siaapp..”
Nah, itu saat harus berperan jadi Ibu.
Memberi perhatian, menjadi pendengar yang baik, sekaligus menenangkan relawan
yang sedang mengalami masalah. Bahkan juga membantu menemukan solusi bagi permasalahan
yang ada. Permasalahan yang ada sebenarnya tidak jauh-jauh dari masalah komunikasi
dan koordinasi. Ketika komunikasi tidak berjalan dengan lancar maka sudah dapat
dipastikan koordinasi jadi berantakan juga. Sejak awal kepanitiaan dibentuk dan
saat para relawan sudah terkumpul, saya berulang kali menegaskan tentang membangun
komunikasi yang baik. Saya mencoba pendekatan secara personal terhadap setiap relawan,
termasuk panitia. Meski hampir separuh dari relawan, termasuk panitia, sudah saya
kenal sejak lama namun tidak menjadi jaminan akan mudahnya berkomunikasi.
Apalagi ditambah jarak dan kondisi pekerjaan yang sedang banyak-banyaknya saat itu.
Akan tetapi memang itulah seni berorganisasi maupun dalam kepanitiaan, belajar karakter
dan cara pendekatan yang tepat. Ada yang mesti dilakukan pendekatan personal,
sering diajak ngobrol baik tentang kesibukan yang sedang dijalani maupun kendala
dalam persiapan Kemenkeu Mengajar. Ada juga yang mesti didekati lewat teman-temannya,
mungkin karena merasa belum kenal dan segan jadi ketika dihubungi orang baru jadi
enggan merespon.
Namun,
jika peran sebagai Ibu sudah tidak mempan, langsung ganti peran jadi Ayah. Iya,
bersikap tegas kepada anak yang mulai “bandel”. Peran ini saya lakukan juga saat
diskusi di grup namun yang merespon orangnya hanya yang itu-itu saja, padahal ada
lebih dari lima puluh orang dalam grup tersebut. Tidak hanya saya yang frustasi
dengan kondisi itu, tapi beberapa panitia yang lain juga. Kita merasa grup tidak
hidup, kurang akrab dan kegiatan seakan hanya milik
beberapa orang saja. Akhirnya, beberapa orang saya tanya ulang secara pribadi
tentang komitmennya terhadap kegiatan ini. Saya tekankan bahwa kegiatan ini
sukarela dan kita harus rela memberi waktu, tenaga dan pikiran yang lebih demi
berhasilnya kegiatan ini. Semua pasti punya kesibukan, namun menurut saya jika
sudah berkomitmen maka akan lebih mudah memberi lebih. Saya juga menyampaikan
jikalau tidak memungkinkan untuk terus bergabung dalam kegiatan ini maka tidak
perlu sungkan untuk menyampaikannya. Pada akhirnya beberapa orang menyatakan
tidak lanjut bergabung dan saya merasa itu lebih baik daripada malah menjadi
tidak nyaman satu dengan yang lainnya.
Saya
bukan psikolog ataupun pakar dalam membaca kepribadian, masih harus belajar
banyak dalam hal komunikasi dan memimpin. Kemenkeu Mengajar 2 ini menjadi wadah
yang sangat luar biasa menempa saya dalam banyak hal. Komunikasi, koordinasi,
pertemanan, kekeluargaan, memimpin, melayani dan masih banyak lagi. Keriangan dan
luapan rasa gembira dari kegiatan Kemenkeu Mengajar 2 Tebing Tinggi masih terasa hingga saat ini. Luapan rasa itu
semakin berarti tatkala sujud syukur kepada Yang Maha Kuasa, sungguh tidak ada satupun
rasa yang mampu kita nikmati jika bukan karena-Nya.