Monday, November 13, 2017

Ketika Harus Menjadi Ayah Sekaligus Ibu


Mendapat kesempatan menjadi Koordinator Kota dalam Kemenkeu Mengajar 2 Tebing Tinggi merupakan hal yang sangat saya syukuri dan banggakan. Menjadi bagian dalam kegiatan yang luar biasa sekaligus memiliki tanggung jawab yang besar, tentu saja ini pengalaman yang sangat berharga. Namun, tahukah kalian bahwa menjadi Koordinator Kota memiliki kisahnya sendiri? Saya ingin mengisahkannya agar kisah ini senantiasa hidup dan dapat diputar ulang dalam memori otak yang kadang mulai memudar seiring waktu.
“Gan, gabung di Sie Acara ya..” kata saya seraya pasang tampang paling manis
“Ta..ta..tapi.. hmm..” Ganda menjawab ragu
“Sie Acara membutuhkanmu loh.. Kalo gak mau ntar gak aku kasih cemilan lagi,” nego setengah mengancam mulai keluar
“Iyalah, Nov kalau gitu,” jawabnya dengan nada pasrah sambil memegang perutnya seakan takut akan kekurangan pasokan makanan
“Yes!!” seru saya penuh semangat
“Mohon bimbingannya ya kak..” ujarnya lagi
“Udah musim duren sekarang dek, gak bimbing lagi hahaaa...,”celetuk Pak Ramot yang ikut mendengarkan obrolan kami. Maksudnya musim buah belimbing tapi diubah jadi “bimbing” untuk meledek agar tidak terlalu serius.
Sepenggal percakapan diatas adalah salah satu pembicaraan saat merekrut panitia, ancaman tadi hanyalah gurauan karena sudah berteman sejak bangku kuliah, tapi memang jadi panitia ini mesti jeli menarik relawan yang akan diajak bekerja sama. Setiap orang pasti punya potensi masing-masing dan melalui kegiatan besar ini, sangat tepat jika ingin mengasah dan mengembangkan potensi yang ada. Hal ini juga yang menjadi pertimbangan saat mengajak para pegawai untuk mendaftar sebagai pengajar ataupun dokumentator.
Menjadi Koordinator Kota sama seperti menjadi ayah sekaligus ibu, harus punya keahlian merangkul dan sabar menghadapi para relawan dengan bermacam-macam usia, latar belakang dan kepribadian. Anak tertua yang udah paham luar kepala apa yang harus dikerjakan dan punya “kekuatan” untuk mengarahkan adik-adiknya. Ada anak tengah yang kadang merasa cemburu koq rasanya seperti tidak disayang, apa karena berbeda warna kulit atau tinggal berjauhan? Ada juga anak bungsu yang sering tidak percaya diri dan malu takut-takut untuk memulai sesuatu. Kondisi yang beragam ini membuat saya harus mampu memilah sikap. Terkadang harus bisa bersikap tegas layaknya seorang Ayah ketika anak-anaknya mulai ricuh dengan berbagai ide dan pendapat yang beragam, yang satu ingin A dan yang lain inginnya B. Terkadang harus bisa juga menjadi layaknya seorang Ibu yang lembut, sabar dan sedikit cerewet menghadapi anak-anaknya saat sedang ada masalah atau mulai melakukan kegiatan tanpa tujuan yang jelas.
“Halo dek..gimana persiapan mengajarnya?” tanya saya pada salah seorang pengajar
“Halo juga kak..Aku bingung nih kak, belum paham persiapannya gimana..”balasnya sedih
“Napa memangnya dek?”
“Aku udah coba hubungi Kak A nanyain bagusnya pake alat peraga apa, tapi balasnya laamaaaa kalliii kak. Padahal yang lain udah dapat metode mengajar dan alat peraganya butuh apa aja,” terangnya kemudian
“Walahh.. Ntar aku coba bantu tanyain ke Kak A ya dek, mudah-mudahan cepat diresponnya.”
“Okeee kak.. Makasi yaa kak..”
“Siaapp..”
Nah, itu saat harus berperan jadi Ibu. Memberi perhatian, menjadi pendengar yang baik, sekaligus menenangkan relawan yang sedang mengalami masalah. Bahkan juga membantu menemukan solusi bagi permasalahan yang ada. Permasalahan yang ada sebenarnya tidak jauh-jauh dari masalah komunikasi dan koordinasi. Ketika komunikasi tidak berjalan dengan lancar maka sudah dapat dipastikan koordinasi jadi berantakan juga. Sejak awal kepanitiaan dibentuk dan saat para relawan sudah terkumpul, saya berulang kali menegaskan tentang membangun komunikasi yang baik. Saya mencoba pendekatan secara personal terhadap setiap relawan, termasuk panitia. Meski hampir separuh dari relawan, termasuk panitia, sudah saya kenal sejak lama namun tidak menjadi jaminan akan mudahnya berkomunikasi. Apalagi ditambah jarak dan kondisi pekerjaan yang sedang banyak-banyaknya saat itu. Akan tetapi memang itulah seni berorganisasi maupun dalam kepanitiaan, belajar karakter dan cara pendekatan yang tepat. Ada yang mesti dilakukan pendekatan personal, sering diajak ngobrol baik tentang kesibukan yang sedang dijalani maupun kendala dalam persiapan Kemenkeu Mengajar. Ada juga yang mesti didekati lewat teman-temannya, mungkin karena merasa belum kenal dan segan jadi ketika dihubungi orang baru jadi enggan merespon.
            Namun, jika peran sebagai Ibu sudah tidak mempan, langsung ganti peran jadi Ayah. Iya, bersikap tegas kepada anak yang mulai “bandel”. Peran ini saya lakukan juga saat diskusi di grup namun yang merespon orangnya hanya yang itu-itu saja, padahal ada lebih dari lima puluh orang dalam grup tersebut. Tidak hanya saya yang frustasi dengan kondisi itu, tapi beberapa panitia yang lain juga. Kita merasa grup tidak hidup, kurang akrab dan kegiatan seakan hanya milik beberapa orang saja. Akhirnya, beberapa orang saya tanya ulang secara pribadi tentang komitmennya terhadap kegiatan ini. Saya tekankan bahwa kegiatan ini sukarela dan kita harus rela memberi waktu, tenaga dan pikiran yang lebih demi berhasilnya kegiatan ini. Semua pasti punya kesibukan, namun menurut saya jika sudah berkomitmen maka akan lebih mudah memberi lebih. Saya juga menyampaikan jikalau tidak memungkinkan untuk terus bergabung dalam kegiatan ini maka tidak perlu sungkan untuk menyampaikannya. Pada akhirnya beberapa orang menyatakan tidak lanjut bergabung dan saya merasa itu lebih baik daripada malah menjadi tidak nyaman satu dengan yang lainnya.
            Saya bukan psikolog ataupun pakar dalam membaca kepribadian, masih harus belajar banyak dalam hal komunikasi dan memimpin. Kemenkeu Mengajar 2 ini menjadi wadah yang sangat luar biasa menempa saya dalam banyak hal. Komunikasi, koordinasi, pertemanan, kekeluargaan, memimpin, melayani dan masih banyak lagi. Keriangan dan luapan rasa gembira dari kegiatan Kemenkeu Mengajar 2 Tebing Tinggi  masih terasa hingga saat ini. Luapan rasa itu semakin berarti tatkala sujud syukur kepada Yang Maha Kuasa, sungguh tidak ada satupun rasa yang mampu kita nikmati jika bukan karena-Nya.


0 comments:

Hello world.. ^__^

Hello world.. ^__^

Advertising

Advertising

Labels

About Me

My Photo
Perfect Melancholic - Strong Choleric - Pluviophile

Entri Populer